Kamis, 15 Juli 2010

Cerita Tentang Komputer

October 26, 2008 · 4 Comments

Cerita Tentang Komputer

Oleh: Mula Harahap

Fisik komputer, yang dulu dikenal sebagai PC (personal computer) itu, baru saya lihat di pertengahan tahun 80-an. Tapi sebelumnya, melalui majalah-majalah luar negeri, saya memang sudah banyak membaca tentang kemungkinan perubahan gaya hidup dan gaya kerja yang akan terjadi akibat kehadiran komputer tersebut.

Komputer yang pertamakali saya lihat itu ada di ruangan salah seorang direktur dari perusahaan tempat saya bekerja. Karena dia seorang yang gemar akan hal-hal teknis, maka saya lihat dia asyik sekali dengan komputer tersebut. Ketika kami rapat anggaran, dia sendirilah yang memindahkan angka-angka yang kami bicarakan dari papan tulis ke komputer, untuk kemudian dihitung sendiri oleh komputer dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel yang rapih.

Tapi lama-kelamaan saya mendapat kesan bahwa direktur itu ingin memonopoli sendiri pengetahuannya tentang komputer. Sementara itu, dari majalah yang saya baca saya mendapat informasi, bahwa demi membudayakan komputer dalam waktu yang sesegera mungkin, perusahaan-perusahaan di AS justeru membagi-bagikannya secara cuma-cuma kepada pegawainya. Atau–kalau pun tidak membagikannya secara cuma-cuma–mereka mengkreditkannya secara lunak.

Didorong oleh keinginan untuk memiliki komputer, maka di dalam sebuah rapat saya menceritakan apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan AS tersebut, dan meminta agar kepada saya dan kawan-kawan yang berminat diberikan juga fasilitas kredit untuk memiliki komputer. Tapi dengan alasan yang tidak terlalu jelas gagasan saya ditolak mentah-mentah. Kata saya dalam hati, “Orang-orang ini lucu….”

Tapi salah seorang direktur lainnya mungkin memahami apa yang ada di kepala saya dan beberapa kawan, dan mencoba mencari jalan tengah. “Belajarlah dulu tentang komputer. Nanti, setelah kalian mahir, kami akan adakan….”

Dengan penuh semangat saya pun pergilah mengikuti kursus mengoperasikan komputer yang diselenggarakan oleh perusahaan bagi sejumlah karyawan. Kursus itu diselenggarakan di gedung sekolah PSKD sore hari, dua kali dalam seminggu. Kami diajari mengoperasikan program “Wordstar” yang rumit itu. Karena komputer hanya ada di PSKD dan hanya bisa disentuh dua kali dalam seminggu tentu saja saya selalu lupa apa yang telah diajarkan. Satu-satunya ajaran dari instruktur kursus itu yang saya ingat ialah, bahwa kalau langkah belajar mengoperasikan komputer sudah “kusut” maka tekanlah tuts “ctrl”, “alt” dan “del”. Matikan komputer, dan mulai lagi dari awal. (Dan di kemudian hari hal itu juga menjadi filsafat hidup saya. Kalau urusan kehidupan sudah mulai kusut, maka tekanlah tuts “ctrl”, “alt” dan “del”. Pergilah tidur atau lakukanlah hal-hal yang menyenangkan hati).

Ternyata setelah kami selesai kursus, komputer yang dijanjikan oleh perusahaan tak kunjung datang juga. Akibatnya saya jadi kehilangan selera dan semangat untuk belajar komputer. Bahkan. ketika itu, melihat dan membicarakan komputer pun saya sudah tidak suka. Tapi sementara itu di dalam hati saya tumbuh semacam dendam: Kalau saya menjadi direktur sebuah perusahaan, saya tidak akan mau bertindak lucu dan capek-capek mengoperasikan komputer. Saya akan berikan komputer kepada semua anak buah saya. Dan saya akan suruh mereka bekerja untuk saya.

Begitulah, kebetulan tidak lama setelah selesai mengikuti kursus komputer saya memutuskan berhenti dari perusahaan tempat saya bekerja. (Alasannya utamanya tentu saja bukan karena persoalan komputer). Kemudian saya mendirikan sebuah perusahaan sendiri.

Ketika perusahaan tersebut telah mulai bergulir dan keadaan keuangan telah membaik, maka hal pertama yang saya lakukan adalah membeli komputer untuk dioperasikan oleh seorang anak buah. Saya sendiri masih tidak tertarik untuk belajar dan menyentuh komputer. Tapi setiap kali perusahaan memiliki uang, saya selalu membeli komputer.

Puncak kepuasan sekaligus kegilaan saya ialah ketika pada suatu saat hampir seluruh karyawan (8 orang)–kecuali supir dan tukang sapu–memiliki komputer di atas mejanya. Sementara itu saya masih tetap melakukan pekerjaan dengan mesin tik tua kesayangan saya.

Orang-orang yang datang ke kantor saya selalu menertawakan saya. “Belajarlah memakai komputer….”

“Untuk apa?” kata saya. “Tokh sudah ada anak buah yang akan melakukannya.”

Harus saya akui ketika saya menanggapi saran orang-orang itu di dalamnya ada terselip sisa perasaan marah dan “dendam” karena tidak diizinkan memegang komputer beberapa tahun yang lalu.

Begitulah pekerjaan menulis atau mengedit surat dan naskah selalu saya lakukan dengan pulpen untuk kemudian saya berikan kepada anak buah.

Di kemudian hari saya mulai belajar mengirim e-mail. Dan kemudian saya tahu bahwa di kotak compose itu saya bisa menulis berpanjang-panjang. Karena itu kalau saya harus menulis makalah, notulen dsb saya melakukannya di sana. Kemudian tulisan itu akan saya kirim ke e-mail anak buah saya untuk diolah lebih lanjut. Atau kepada anak buah akan saya katakan, “Coba kau pindahkan dulu tulisan ini ke komputermu….”

Harus saya akui sampai sekarang saya hanya tahu mengirim surat lewat program Yahoo atau Google. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengirim surat lewat progam e-mail yang ada di Microsoft

Orang-orang selalu menganjurkan saya agar belajar mengetik di Microsoft. Tapi entah mengapa waktu itu saya benci sekali melihat figur dari paper-clip yang menyerupai orang dan matanya besar itu, dan yang selalu naik-turun di monitor seolah-olah mengejek saya.

Di kemudian hari barulah saya belajar mengetik di Microsoft. (Kemana figur dari paper-clip yang bola matanya besar itu?). Tapi penguasaan saya masih sangat sederhana. Saya hanya bisa mengetik dan men-save. Saya tidak tahu membesar-kecilkan type size dan mengatur marjin. Karena itu setiap kali selesai mengetik saya harus minta bantuan orang lain untuk menyajikan tampilan yang lebih manis. (Lebih jauh silakan dibaca di posting “The Confession of a Gaptek
Man”).

Tapi lambat-laun perasaan marah dan benci untuk menjamah komputer mulai hilang. Saya belajar untuk membuat blog dengan WordPress, dan saya belajar Facebook. Harus saya akui penguasaan saya masih sangat elementer sekali. Saya masih kepingin mempelajari berbagai kemudahan yang ditawarkan Microsoft (Power Point, Office dsb).

Saya masih kepingin mempelajari program mengolah gambar dan filem digital. (Page saya WordPress dan Facebook itu hanya penuh dengan tulisan. Dia perlu dipermanis sedikit dengan gambar-gambar). Kini setiap kali pergi ke toko buku saya selalu membeli satu-dua buku tipis tentang mengoperasikan komputer. Tapi saya tidak tahu kapan saya harus mempelajari semua itu.

Setahun yang lalu sebagai kenang-kenangan atas berakhirnya pengabdian sebagai pengurus, IKAPI menghadiahkan saya sebuah laptop. Walaupun program yang saya kuasai hanyalah
mengetik ala kadarnya di Microsoft Words, mengirim surat melalui Yahoo dan Google, mengoperasikan WordPress dan Facebook, tapi kini kemana-mana saya selalu membawa laptop.

Saya memang tidak sekonyol dulu lagi ketika menulis dengan pulpen atau mesin tik Royal. Kini kalau saya sudah selesai menulis sebuah konsep surat, laporan, makalah, dsb saya tinggal berkata kepada anak buah atau orang-orang di sekitar saya, “Bawa dulu flash-disk kau kemari. Tolong buat dia jadi lebih manis….” [.]

Categories: Kehidupan Diri Sendiri
Tagged: , , ,

4 responses so far ↓

  • Rafina Harahap // October 26, 2008 at 9:48 pm | Reply

    Di kafe, acapkali aku melihat anak-anak muda membawa laptop tercanggih, namun ketika diam-diam aku mengintip sembari lewat (iseng banget yah?), masya yahweh, laptop secanggih itu cuma dipake buat chatting!

    Ketika trend Harry Potter, dengan demonstratif mereka membacanya di kafe dengan menonjolkan sampulnya. Kadang terpikir untuk usil bertanya, “Gak pernah baca buku sebelumnya ya? Kok norak bener seh?” Tentu cuma dalam hati saja, karena pada dasarnya aku tidak tegaan :-)

    Pada akhirnya, secanggih apapun alat-alat tsb, toh yang terpenting adalah isinya. Apa gunanya punya laptop model terbaru, tapi tidak bisa menulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar?

    Aku ikut banyak milis, mulai dari milis fashion hingga agama, dan betapa menyedihkan kemampuan orang-orang muda ini dalam menuangkan pikiran. Bahkan ada yang menulis tanpa paragraf, padahal ia menulis lebih dari 1 halaman A4. Dan buruknya kemampuan menulis dan berdiskusi ini juga terjadi di milis sebuah parpol yang dengan angkuhnya mengaku punya lebih dari 300 doktor :-(

  • Sonya Rapinta Manalu // November 18, 2008 at 11:14 am | Reply

    Wah amang, jangan2 amang bisa menyaingin para pakar neh dengan otodidak komputernya… hehhehehheheheh

    Yang lebih menarik lagi amang, kadang tampa kita sadari kita memiliki fasilitas lengkap tapi ga bisa menggunakan fitur2 yang ada didalmnya….

    Seperti kata saudari Rafina…. Labtop canggih tapi dipake hanya untuk chatting….. ato handphone dengan seri keluaran terbaru yang super canggih tapi dipake hanya untuk nerima telepon dan sms saja.
    Yah klo kami bilangnya “life style, yang penting gaya…”
    Hehehhehehhehehhehehe……

  • rachmad // December 24, 2008 at 9:31 am | Reply

    Betul betul ironis sekali. Di jaman yang serba maju saat ini komputer-komputer yang canggih di tangan orang yang gaptek. Banyak teman-teman saya seperti itu bawa laptop canggih tapi tidak bisa mengoperasikannya. Kalau ditanya, yang penting buat gaya, biar disebut hightech

  • bunga desa // June 12, 2009 at 11:27 am | Reply

    Sorry nih, kawan, bukan maksudnya spamming tapi cuma menyampaikan kabar gembira, nih…Ada lomba blog hadiahnya Notebook ACER Aspire dan banyak hadiah lainnya juga seperti Netbook Advan, Kamera Digital, modem HSPDA, dan ratusan USB Flash Drive.

    Caranya gampang, kamu gak disuruh ngebuat blog dengan tampilan yang macem-macem, tapi kamu cuman disuruh menulis dan mereview produk-produk.

    Untuk lebih jelasnya, klik disini untuk melihat ketentuannya

    Buruan sebelum pendaftaran ditutup!!

Leave a Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar